Sunda - Urang Sunda (Suku Sunda) adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah barat Jawa Tengah (Banyumasan). Orang Sunda tersebar diberbagai wilayah Indonesia, dengan provinsi Banten dan Jawa Barat sebagai wilayah utamanya.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, riang dan bersahaja. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, riang dan bersahaja. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain.
Sunda
Berdasarkan “Sastrajenrahayuningrat” istilah “Sunda” dibentuk oleh tiga suku kata yaitu SU-NA-DA yang artinya adalah “matahari” ;– SU = Sejati/ Abadi
– NA = Api
– DA = Besar/ Gede/ Luas/ Agung
Dalam kesatuan kalimat “Sunda” mengandung arti “Sejati-Api-Besar” atau “Api Besar yang Sejati atau bisa juga berarti Api Agung yang Abadi”. Maksud dan maknanya adalah matahari atau “Sang Surya” (Panon Poe/ Mata Poe/ Sang Hyang Manon). Sedangkan kata “Sastrajenrahayuningrat” (Su-Astra-Ajian-Ra-Hayu-ning-Ratu) memiliki arti sebagai berikut;
– Su = Sejati/ Abadi
– Astra = Sinar/ Penerang
– Ajian = Ajaran
– Ra = Matahari (Sunda)
– Hayu = Selamat/ Baik/ Indah
– ning = dari
– Ratu = Penguasa (Maharaja)
Dengan demikian “Sastrajenrahayuningrat” jika diartikan secara bebas adalah “Sinar Sejati Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang Ratu” atau “Penerang yang Abadi Ajaran Matahari – Kebaikan dari Sang Maharaja” atau boleh jadi maksudnya ialah “Sinar Ajaran Matahari Abadi atas Kebaikan dari Sang Penguasa/ Ratu/ Maharaja Nusantara”, dst.
“Sunda” sama sekali bukan nama etnis/ ras/ suku yang tinggal di pulo Jawa bagian barat dan bukan juga nama daerah, karena sesungguhnya “Sunda” adalah nama ajaran atau agama tertua di muka Bumi, keberadaannya jauh sebelum ada jenis agama apapun yang dikenal pada saat sekarang.
Agama “Sunda” merupakan cikal-bakal ajaran tentang “cara hidup sebagai manusia beradab hingga mencapai puncak kemanusiaan yang tertinggi (adi-luhung). Selain itu agama Sunda juga yang mengawali lahirnya sistem pemerintahan dengan pola karatuan (kerajaan) yang pertama di dunia, terkenal dengan konsep SITUMANG (Rasi-Ratu-Rama-Hyang) dengan perlambangan “anjing” (tanda kesetiaan).
Ajaran/ agama Sunda (Matahari) pada mulanya disampaikan oleh Sang Sri Rama Mahaguru Ratu Rasi Prabhu Shindu La-Hyang (Sang Hyang Tamblegmeneng) putra dari Sang Hyang Watu Gunung Ratu Agung Manikmaya yang lebih dikenal sebagai Aji Tirem (Aki Tirem) atau Aji Saka Purwawisesa.
Ajaran Sunda lebih dikenal dengan sebutan Sundayana (yana = way of life, aliran, ajaran, agama) artinya adalah “ajaran Sunda atau agama Matahari” yang dianut oleh bangsa Galuh, khususnya di Jawa Barat.
Sundayana disampaikan secara turun-temurun dan menyebar ke seluruh dunia melalui para Guru Agung (Guru Besar/ Batara Guru), masyarakat Jawa-Barat lebih mengenalnya dengan sebutan Sang Guru Hyang atau “Sangkuriang” dan sebagian lagi memanggilnya dengan sebutan “Guriang” yang artinya “Guru Hyang” juga.
Landasan inti ajaran Sunda adalah “welas-asih” atau cinta-kasih, dalam bahasa Arab-nya disebut “rahman-rahim”, inti ajaran inilah yang kelak berkembang menjadi pokok ajaran seluruh agama yang ada sekarang, sebab adanya rasa welas-asih ini yang menjadikan seseorang layak disebut sebagai manusia. Artinya, dalam pandangan agama Sunda (bangsa Galuh) jika seseorang tidak memiliki rasa welas-asih maka ia tidak layak untuk disebut manusia, pun tidak layak disebut binatang, lebih tepatnya sering disebut sebagai Duruwiksa (Buta) mahluk biadab.
Agar pemahaman ke depan tidak menjadi rancu dan membingungkan dalam memahami istilah “Sinar (Astra/ Ra/ Matahari), Cahaya (Dewa) dan Terang” maka perlu dijelaskan sebagai berikut;
Sundayana terbagi dalam tiga bidang ajaran dalam satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisah (Kemanunggalan) yaitu;
- Tata-Salira/ Kemanunggalan Diri; berisi tentang pembentukan kualitas manusia yaitu, meleburkan diri dalam “ketunggalan” agar menjadi “diri sendiri” (si Swa) yang beradab, merdeka dan berdaulat atau menjadi seseorang yang tidak tergantung kepada apapun dan siapapun selain kepada diri sendiri.
- Tata-Naga-Ra/ Kemanunggalan Negeri; yaitu memanunggalkan masyarakat/ bangsa (negara) dalam berkehidupan di Bumi secara beradab, merdeka dan berdaulat. Pembangunan negara yang mandiri, tidak menjajah dan tidak dijajah.
- Tata-Buana/ Kemanunggalan Bumi; ialah kebijakan universal (kesemestaan) untuk memanunggalkan Bumi dengan segala isinya dalam semesta kehidupan agar tercipta kedamaian hidup di Buana.
- Cahaya Putih di timur disebut Purwa, tempat Hyang Iswara.
- Cahaya Merah di selatan disebut Daksina, tempat Hyang Brahma.
- Cahaya Kuning di barat disebut Pasima, tempat Hyang Mahadewa.
- Cahaya Hitam di utara disebut Utara, tempat Hyang Wisnu.
- Segala Warna Cahaya di pusat disebut Madya, tempat Hyang Siwa.
Ajaran Sunda dalam silib-siloka “Panah Chakra”
“Ajaran Sunda” di dalam cerita pewayangan dilambangkan dengan Jamparing Panah Chakra, yaitu ‘raja segala senjata’ milik Sang Hyang Wisnu yang dapat mengalahkan sifat jahat dan angkara-murka, tidak ada yang dapat lolos dari bidikan Jamparing Panah Chakra. Maksudnya adalah;– Jamparing = Jampe Kuring
– Panah = Manah = Hati (Rasa Welas-Asih)
– Chakra atau Cakra = Titik Pusaran yang bersinar/ Roda Penggerak Kehidupan (‘matahari’).
– Secara simbolik gendewa (gondewa) merupakan bentuk bibir yang sedang tersenyum (?).
Panah Chakra di Jawa Barat biasa disebut sebagai “Jamparing Asih” maksudnya adalah “Ajian Manah nu Welas Asih” (ajian hati yang lembut penuh dengan cinta-kasih). Dengan demikian maksud utama dari Jamparing Panah Chakra atau Jamparing Asih itu ialah “ucapan yang keluar dari hati yang welas asih dapat menggerakan roda kehidupan yang bersinar”.
Keberadaan Panca Dewa kelak disilib-silokakan (diperlambangkan) ke dalam kisah “pewayangan” dengan tokoh-tokoh baru melalui kisah Ramayana (Ajaran Rama) serta kisah Mahabharata pada tahun +/-1500 SM; Yudis-ti-Ra, Bi-Ma, Ra-ju-Na, Na-ku-La, dan Sa-Dewa. Kelima cahaya itu kelak dikenal dengan sebutan “Pandawa” singkatan dari “Panca Dewa” (Lima Cahaya) yang merupakan perlambangan atas sifat-sifat kesatria negara. Istilah “wayang” itu sendiri memiliki arti “bayang-bayang”, maksudnya adalah perumpamaan dari kelima cahaya tersebut di atas.
Selama ini cerita wayang selalu dianggap ciptaan bangsa India, hal tersebut mungkin “benar” tetapi boleh jadi “salah”. Artinya kemungkinan terbesar adalah bangsa India telah berjasa melakukan pencatatan tentang kejadian besar yang pernah ada di Bumi Nusantara melalui kisah pewayangan dalam cerita epos Ramayana dan Mahabharata. Logika sederhananya adalah; India dikenal sebagai bangsa Chandra (Chandra Gupta) sedangkan Nusantara dikenal sebagai bangsa Matahari (Ra-Hyang), dalam hal ini tentu Matahari lebih unggul dan lebih utama ketimbang Bulan. India diterangi atau dipengaruhi oleh ajaran dan kebudayaan Nusantara. Namun demikian tidak dapat disangkal bahwa bukti (jejak) peninggalan yang maha agung itu di Bumi Nusantara telah banyak dilupakan, diselewengkan hingga dimusnahkan oleh bangsa Indonesia sendiri sehingga pada saat ini kita sulit untuk membuktikannya melalui “kebenaran ilmiah”.
Berkaitan dengan persoalan “Pancawarna”, bagi orang-orang yang lupa kepada “jati diri” (sebagai bangsa Matahari) di masyarakat Jawa-Barat dikenal peribahasa “teu inget ka Purwa Daksina…!” artinya adalah “lupa kepada Merah-Putih” (lupa akan kebangsaan/ tidak tahu diri/ tidak ingat kepada jati diri sebagai bangsa Galuh penganut ajaran Sunda).
Banyak orang Jawa Barat mengaku dirinya sebagai orang “Sunda”, mereka mengagungkan “Sunda” sebagai genetika biologis dan budayanya yang membanggakan, bahkan secara nyata perilaku diri mereka yang lembut telah menunjukan kesundaannya (sopan-santun dan berbudhi), namun unik dan anehnya mereka ‘tidak mengakui’ bahwa itu semua adalah hasil didikan Agama Sunda yang telah mereka warisi dari para leluhurnya secara turun-temurun, seolah telah menjadi genetika religi pada diri manusia Galuh.
Masyarakat Jawa Barat tidak menyadari (tidak mengetahui) bahwa perilaku lembut penuh tata-krama sopan-santun dan berbudhi itu terjadi akibat adanya “ajaran” (agama Sunda) yang mengalir di dalam darah mereka dan bergerak tanpa disadari (refleks). Untuk mengatakan kejadian tersebut para leluhur menyebutnya sebagai;
“nyumput buni di nu caang” (tersembunyi ditempat yang terang) artinya adalah; mentalitas, pikiran, perilaku, seni, kebudayaan, filosofi dll. yang mereka lakukan sesungguhnya adalah hasil didikan agama Sunda tetapi si pelaku sendiri tidak mengetahuinya.
Inti pola dasar ajaran Sunda adalah “berbuat baik dan benar yang dilandasi oleh kelembutan rasa welas-asih”. Pola dasar tersebut diterapkan melalui Tri-Dharma (Tiga Kebaikan) yaitu sebagai pemandu ‘ukuran’ nilai atas keagungan diri seseorang/ derajat manusia diukur berdasarkan dharma (kebaikan) :
- Dharma Bakti, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap diri, keluarga serta di lingkungan kecil tempat ia hidup, manusianya bergelar “Manusia Utama”.
- Dharma Suci, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap bangsa dan negara, manusianya bergelar “Manusia Unggul Paripurna” (menjadi idola).
- Dharma Agung, ialah seseorang yang telah menjalankan budhi kebaikan terhadap segala peri kehidupan baik yang terlihat maupun yang tidak terlihat, yang tercium, yang tersentuh dan tidak tersentuh, segala kebaikan yang tidak terbatasi oleh ruang dan waktu, manusianya bergelar “Manusia Adi Luhung” (Batara Guru)
Ajaran ini kelak dilanjutkan dan dikembangkan oleh salah seorang tokoh Mahaguru Rasi Shakyamuni – Sidharta Gautama (‘Sang Budha’), seorang putra mahkota kerajaan Kapilawastu di Nepal – India.
Pembentukan Tri-Dharma Sunda dilakukan melalui tahapan yang berbeda sesuai dengan tingkatan umurnya (?) yaitu :
- Dharma Rasa, ialah mendidik diri untuk dapat memahami “rasa” (kelembutan) di dalam segala hal, sehingga mampu menghadirkan keadaan “ngarasa jeung rumasa” (menyadari rasa dan memahami perasaan). Dengan demikian dalam diri seseorang kelak muncul sifat menghormati, menghargai, dan kepedulian terhadap sesama serta kemampuan merasakan yang dirasakan oleh orang lain (pihak lain), hal ini merupakan pola dasar pembentukan sifat “welas-asih” dan manusianya kelak disebut “Dewa-Sa”.
- Dharma Raga, adalah mendidik diri dalam bakti nyata (bukti) atau mempraktekan sifat rasa di dalam hidup sehari-hari (*bukan teori) sehingga kelak keberadaan/ kehadiran diri dapat diterima dengan senang hati (bahagia) oleh semua pihak dalam keadaan “ngaraga jeung ngawaruga” (menjelma dan menghadirkan). Hal ini merupakan pola dasar pembentukan perilaku manusia yang dilandasi oleh kesadaran rasa dan pikiran. Seseorang yang telah mencapai tingkatan ini disebut “Dewa-Ta”.
- Dharma Raja, adalah mendidik diri untuk menghadirkan “Jati Diri” sebagai manusia “welas-asih” yang seutuhnya dalam segala perilaku kehidupan “memberi tanpa diberi” atau memberi tanpa menerima (tidak ada pamrih). Tingkatan ini merupakan pencapaian derajat manusia paling terhormat yang patut dijadikan suri-teladan bagi semua pihak serta layak disebut (dijadikan) pemimpin.
Sundayana menyebar ke seluruh dunia, terutama di wilayah Asia, Eropa, Amerika dan Afrika, sedangkan di Australia tidak terlalu menampak. Oleh masyarakat Barat melalui masing-masing kecerdasan kode berbahasa mereka ajaran Matahari ini diabadikan dalam sebutan SUNDAY (hari Matahari), berasal dari kata “Sundayana”dan bangsa Indonesia lebih mengenal Sunday itu sebagai hari Minggu.
Di wilayah Amerika kebudayaan suku Indian, Maya dan Aztec pun tidak terlepas dari pemujaan kepada Matahari, demikian pula di wilayah Afrika dan Asia, singkatnya hampir seluruh bangsa di dunia mengikuti ajaran leluhur bangsa Galuh Agung (Nusantara) yang berlandaskan kepada tata-perilaku berbudhi dengan rasa “welas-asih” (cinta-kasih).
Jejak keberadaan ajaran agama Sunda yang kemudian berkembang hingga saat ini terekam dalam kebudayaan masyarakat Roma (kerajaan Romawi) yang menetapkan tanggal 25 Desember sebagai “Hari Matahari” (Sunday) yaitu hari pemujaan kepada Matahari (Sunda) dan kini masyarakat Indonesia lebih mengenalnya sebagai hari “Natal”.
Oleh bangsa Barat (Eropa dan Amerika) istilah Sundayana ‘dirobah’ menjadi Sunday sedangkan di Nusantara dikenal dengan sebutan “Surya” (*Bangsa Arya ?) yang berasal dari tiga suku kata yaitu Su-Ra-Yana, bangsa Nusantara memperingatinya dalam upacara “Sura” (Suro) yang intinya bertujuan untuk mengungkapkan rasa menerima-kasih serta ungkapan rasa syukur atas “kesuburan” negara yang telah memberikan kehidupan dalam segala bentuk yang menghidupkan; baik berupa makanan, udara, air, api (kehangatan), tanah, dan lain sebagainya.
Pengertian Surayana pada hakikatnya sama saja dengan Sundayana sebab mengandung maksud dan makna yang sama.
– SU = Sejati
– RA = Sinar/ Maha Cahaya/ Matahari
– YANA = way of life/ ajaran/ ageman/ agama
Maka arti “Surayana” adalah sama dengan “Agama Matahari yang Sejati” dan dikemudian hari bangsa Indonesia mengenal dan mengabadikannya dengan sebutan “Sang Surya” untuk mengganti istilah “Matahari”.
Perobahan istilah “Sunda”
Sekilas gambaran di atas boleh jadi hanya bersifat gatuk (mencocok-cocokan), namun mustahil jika kemiripan penanda (sebutan dan objek) itu terjadi dengan sendirinya tanpa sebab, selain itu terjadi pula kemiripan pada nilai-nilai yang bersifat prinsip dan mustahil pula jika tidak ada yang memulai dan mengajarkannya. Tentu “tidak mungkin ada akibat jika tanpa sebab” (hukum aksi-reaksi), dalam pepatah leluhur bangsa Nusantara menyebutkan “tidak ada asap jika tidak ada api” atau “mustahil ada ranting jika tidak ada dahan” maka segalanya pasti ada yang memulai dan mengajarkan.5000 tahun sebelum penanggalan Masehi di Asia dalam sejarah peradaban bangsa Mesir kuno menerangkan (menggambarkan) tentang keberadaan ajaran Matahari dari bangsa Galuh, mereka menyebutnya sebagai “RA” yang artinya adalah Sinar/ Astra/ Matahari/ Sunda.
“RA” digambarkan dalam bentuk “mata” dan diposisikan sebagai “Penguasa Tertinggi” dari seluruh ‘dewa-dewa’ bangsa Mesir kuno yang lainnya, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bangsa Mesir kuno-pun menganut dan mengakui Sundayana (Agama Matahari) yang dibawa dan diajarkan oleh leluhur bangsa Galuh.
Disisi lain bangsa Indonesia saat ini mengenal bentuk dan istilah “mata” (eye) yang mirip dengan gambaran “AMON-RA” bangsa Mesir kuno, sebutan “amon” mengingatkan kita kepada istilah “panon” yang berarti “mata” yang terdapat pada kata “Sang Hyang Manon” yaitu penamaan lain bagi Matahari di masyarakat Jawa Barat jaman dahulu (*apakah kata Amon dan Manon memiliki makna yang sama?)
Secara filosofis, pola bentuk ‘bangunan’ menuju puncak meruncing (gunungan) itu merupakan perlambangan para Hyang yang ditinggikan atau diluhurkan, hal inipun merupakan silib-siloka tentang perjalanan manusia dari “ada” menuju “tiada” (langit), dari jelma menjadi manusia utama hingga kelak menuju puncak kualitas manusia adiluhung (maha agung).
Demikian pula yang dilakukan oleh suku Maya di Mexico pada jaman dahulu, mereka secara khusus membangun tempat pemujaan (kuil/pura) kepada Matahari (Sang Hyang Tunggal).
Sekitar abad ke XV kebudayaan agung bangsa Amerika latin mengalami keruntuhan setelah datangnya para missionaris Barat yang membawa misi Gold, Glory dan Gospel. Tujuan utamanya tentu saja Gold (emas/ kekayaan) dan Glory (kejayaan/ kemenangan) sedangkan Gospel (agama) hanya dijadikan sebagai kedok politik agar seolah-olah mereka bertujuan untuk “memberadabkan” sebuah bangsa.
Propaganda yang mereka beritakan tentang perilaku biadab agama Matahari dan kelak dipercaya oleh masyarakat dunia adalah bahwa; “suku terasing penyembah matahari itu pemakan manusia”, hal ini mirip dengan yang terjadi di Sumatra Utara serta wilayah lainnya di Indonesia. Dibalik propaganda tersebut maksud sesungguhnya kedatangan para ‘penyebar agama’ itu adalah perampokan kekayaan alam dan perluasan wilayah jajahan (imperialisme), sebab mustahil bangsa yang sudah “beragama” harus ‘diagamakan’ kembali dengan ajaran yang tidak berlandas kepada nilai-nilai kebijakan dan kearifan lokalnya.
Dalam pandangan penganut agama Sunda (bangsa Galuh) yang dimaksud dengan “peradaban sebuah bangsa (negara)” tidak diukur berdasarkan nilai-nilai material yang semu dan dibuat-buat oleh manusia seperti bangunan megah, emas serta batu permata dan lain sebagainya melainkan terciptanya keselarasan hidup bersama alam (keabadian). Prinsip tersebut tentu saja sangat bertolak-belakang dengan negara-negara lain yang kualitas geografisnya tidak sebaik milik bangsa beriklim tropis seperti di Nusantara dan negara tropis lainnya. Leluhur Galuh mengajarkan tentang prinsip kejayaan dan kekayaan sebuah negara sebagai berikut :
“Gunung kudu pageuh, leuweung kudu hejo, walungan kudu herang, taneuh kudu subur, maka bagja rahayu sakabeh rahayatna”
(Gunung harus kokoh, hutan harus hijau, sungai harus jernih, tanah harus subur, maka tentram damai sentausa semua rakyatnya)
“Gunung teu meunang dirempag, leuweung teu meunang dirusak”
(Gunung tidak boleh dihancurkan, hutan tidak boleh dirusak)
Kuil (tempat peribadatan) pemujaan Matahari hampir seluruhnya dibangun berdasarkan pola bentuk “gunungan” dengan landasan segi empat yang memuncak menuju satu titik. Boleh jadi hal tersebut berkaitan erat dengan salah satu pokok ajaran Sunda dalam mencapai puncak kualitas bangsa (negara) seperti Matahari yang bersinar terang, atau sering disebut sebagai “Opat Ka Lima Pancer” yaitu; empat unsur inti alam (Api, Udara, Air, Tanah) yang memancar menjadi “gunung” sebagai sumber kehidupan mahluk.
Menilik bentuk-bentuk simbolik serta orientasi pemujaannya maka dapat dipastikan bahwa piramida di wilayah Mesir-pun sesungguhnya merupakan kuil Matahari (Sundapura). Walaupun sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa piramid itu adalah kuburan para raja namun perlu dipahami bahwa raja-raja Mesir kuno dipercaya sebagai; Keturunan Matahari/ Utusan Matahari/ Titisan Matahari/ ataupun Putra Matahari, dengan demikian mereka setara dengan “Putra Sunda”(Utusan Sang Hyang Tunggal).
Untuk sementara istilah “Putra Sunda” bagi para raja Mesir kuno dan yang lainnya tentu masih terdengar janggal dan aneh sebab selama ini sebutan “Sunda” selalu dianggap sebagai suku, ras maupun wilayah kecil yang ada di pulo Jawa bagian barat saja, istilah “Sunda” seolah tidak pernah terpahami oleh bangsa Indonesia pun oleh masyarakat Jawa Barat sendiri.
Tidak diketahui waktunya secara tepat, Sang Narayana Galuh Hyang Agung (Galunggung) mengembangkan dan mengokohkan ajaran Sunda di Jepang, dengan demikian RA atau Matahari begitu kental dengan kehidupan masyarakat Jepang, mereka membangun tempat pemujaan bagi Matahari yang disebut sebagai Kuil Nara (Na-Ra / Api-Matahari) dan masyarakat Jepang dikenal sebagai pemuja Dewi Amate-Ra-Su Omikami yang digambarkan sebagai wanita bersinar (Astra / Aster / Astro / Astral / Austra).
Secara mendasar ajaran para leluhur bangsa Galuh dapat diterima di seluruh bangsa (negara) karena mengandung tiga pokok ajaran yang bersifat universal (logis dan realistis), tanpa tekanan dan paksaan yaitu :
- Pembentukan nilai-nilai pribadi manusia (seseorang) sebagai landasan pokok pembangunan kualitas keberadaban sebuah bangsa (masyarakat) yang didasari oleh nilai-nilai welas-asih (cinta-kasih).
- Pembangunan kualitas sebuah bangsa menuju kehidupan bernegara yang adil-makmur-sejahtera dan beradab melalui segala sumber daya bumi (alam/ lingkungan) di wilayah masing-masing yang dikelola secara bijaksana sesuai dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
- Pemeliharaan kualitas alam secara selaras yang kelak menjadi pokok kekayaan atau sumber daya utama bagi kehidupan yang akan datang pada sebuah bangsa, dan kelak berlangsung dari generasi ke generasi (berkelanjutan).
Ajaran Sunda menyesuaikan diri dengan letak geografis dan watak masyarakatnya secara selaras (harmonis) maka itu sebabnya bentuk bangunan suci (tempat pemujaan) tidak menunjukan kesamaan disetiap negara, tergantung kepada potensi alamnya. Namun demikian pola dasar bangunan dan filosofinya memiliki kandungan makna yang sama, merujuk kepada bentuk gunungan.
Di Indonesia sendiri simbol “RA” (Matahari/ Sunda) sebagai ‘penguasa’ tertinggi pada jaman dahulu secara nyata teraplikasikan pada berbagai sisi kehidupan dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu diungkapkan dalam bentuk (rupa) serta penamaan yang berkaitan dengan istilah “RA” (Matahari) sebagai sesuatu yang sifat agung maupun baik, seperti;
- Konsep wilayah disebut “Naga-Ra/ Nega-Ra”
- Lambang negara disebut “Bende-Ra”
- Maharaja Nusantara bergelar “Ra-Hyang”
- Keluarga Kerajaan bergelar “Ra-Keyan dan Ra-Ha-Dian (Raden)”.
- Konsep ketata-negaraan disebut “Ra-si, Ra-tu, Ra-ma”
- Penduduknya disebut “Ra-Hayat” (rakyat).
- Nama wilayah disebut “Dirganta-Ra, Swarganta-Ra, Dwipanta-Ra, Nusanta-Ra, Indonesia (?)”
Kemaharajaan (Keratuan/ Keraton) Nusantara yang terakhir, “Majapahit” kependekan dari Maharaja-Pura-Hita (Tempat Suci Maharaja yang Makmur-Sejahtera) dikenal sebagai pusat pemerintahan “Naga-Ra” yang terletak di Kadiri – Jawa Timur sekitar abad XIII masih mempergunakan bentuk lambang Matahari, sedangkan dalam panji-panji kenegaraan lainnya mereka mempergunakan warna “merah dan putih” (Purwa-Daksina) yang serupa dengan pataka (‘bendera’) Indonesia saat ini.
Bende – Ra Majapahit
Tidak terlepas dari keberadaan ajaran Sunda (Matahari) dimasa lalu yang kini masih melekat diberbagai bangsa sebagai lambang kenegaraan ataupun hal-hal lainnya yang telah berobah menjadi legenda dan mithos, tampaknya bukti terkuat tentang cikal-bakal (awal) keberadaan ajaran Matahari atau agama “Sunda” itu masih tersisa dengan langgeng di Bumi Nusantara yang kini telah beralih nama menjadi Indonesia.Di Jawa Kulon (Barat) sebagai wilayah suci tertua (Mandala Hyang) tempat bersemayamnya Leluhur Bangsa Matahari (Pa-Ra-Hyang) hingga saat ini masih menyisakan penandanya sebagai pusat ajaran Sunda (Matahari), yaitu dengan ditetapkannya kata “Tji” (Ci) yang artinya CAHAYA di berbagai wilayah seperti; Ci Beureum (Cahaya Merah), Ci Hideung (Cahaya Hitam), Ci Bodas (Cahaya Putih), Ci Mandiri (Cahaya Mandiri), dan lain sebagainya. Namun sayang banyak ilmuwan Nusantara khususnya dari Jawa Barat malah menyatakan bahwa “Ci” adalah “cai” yang diartikan sebagai “air”, padahal jelas-jelas untuk benda cair itu masyarakat Jawa Barat jaman dulu secara khusus menyebutnya sebagai “Banyu” dan sebagian lagi menyebutnya sebagai “Tirta” (*belum diketahui perbedaan diantara keduanya).
Sebutan “Ci” yang kelak diartikan sebagai “air” (cai/nyai) sesungguhnya berarti “cahaya/ kemilau” yang terpantul di permukaan banyu (tirta) akibat pancaran “sinar” (kemilau). Masalah “penamaan/ sebutan” seperti ini oleh banyak orang sering dianggap sepele, namun secara prinsip berdampak besar terhadap “penghapusan” jejak perjalanan sejarah para leluhur bangsa Galuh Agung pendiri agama Sunda (Matahari).
`Cag
Sumber :
1. https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Sunda
2. https://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Sunda
3. https://harumankawali.wordpress.com/2012/12/09/naon-ari-sunda